Dengan apa harus ku bayar hutang rasaku? (Sudjiwo Tedjo)
Ada berbagai macam jenis hutang selama kita hidup. Hutang uang tinggal dibayar dengan uang. Hutang budi juga tinggal dibalas dengan perbuatan. Tapi bagaimana dengan hutang perasaan ?
Salah satu hutang yang sampai saat ini belum bisa gue bayar kepada mereka. Iya, hutang perasaan.
Ceritanya dulu gue individualis sekali. Introvert parah, tidak suka berteman dekat, tidak suka kerja dalam team, tidak suka bareng orang intinya.
Alasannya, kehadiran orang lain pasti akan mengacaukan hidup gue. Mimpi gue akan terganggu jika punya teman. Gue akan cenderung memilih bermain dengan teman dan melupakan ambisi. Begitu kata beliau, sehingga gue tidak pernah benar-benar punya teman.
Sampai ketika gue tidak tinggal di rumah lagi. Lalu bertemu beberapa orang yang kemudian membentuk kelompok termasuk gue di dalamnya.
Mereka mengajak makan di kantin sepulang kuliah. Menurut gue ini sangat aneh. Untuk apa duduk ngobrol gak jelas gitu? Lebih baik pulang dan belajar atau sendiri membaca novel.
Lalu mereka mengajak belajar bareng untuk ujian. Ini juga gue anggap aneh, kenapa harus bareng kan bisa belajar sendiri.
Pulang kuliah nempel terus, ngobrol gak jelas sampai malam. Risih sekali rasanya dulu. Makan ditemenin, pergi ke perpus ditemenin. Bahkan gue sampai mengubah jadwal lari dari pagi ke sore untuk menghindari mereka. Nyatanya mereka tidak pergi juga.
Tidak cukup dengan semua itu. Gue harus tinggal seatap dengan orang-orang baru. Berkompromi, berinteraksi, diberi intervensi supaya tetap damai.
Mungkin gue tidak bisa menghindar selamanya. Salah seorang anggota kelompok sedang mengikuti lomba dan semuanya datang menonton memberi semangat, kecuali gue.
"Nyak, kenapa gak datang kemarin?" tanyanya.
"Oh, gue ada urusan di rumah tante gue." Jawab gue bohong, padahal hanya mengungsi ingin baca novel.
"Yahhh, padahal kan gue lomba. Semuanya datang kecuali lo."
Iya, kesannya gue jahat sekali. Sungguh bukan maksud seperti itu. Gue hanya gak tahu berteman itu seperti apa. Gue gak tahu kalau berteman itu saling mendukung, saling menemani satu sama lain.
Di bawah satu atap itu gue juga kena intervensi. Si dominan yang tidak pernah mau kalah dan mendengarkan orang lain.
Gue cuma gak tahu kalau temenan itu berarti mendengarkan. Kalau temenan itu juga belajar untuk mengalah. Tidak ada yang menang atau kalah. Tidak semua hal adalah kompetisi.
Akhirnya gue memutuskan untuk berani berteman.
Gue mulai ikut duduk di kantin sepulang kuliah. Kami ngobrol banyak hal, tertawa sampai nangis. Ternyata ini menyenangkan.
Gue mulai minta ditemenin belanja atau ke perpus. Ini juga menyenangkan.
Gue ajak mereka nonton gue lomba. Mereka bantu ketika persiapan. Mereka duduk di bangku penonton. Senyum, menyemangati, dengerin cerita gue setelah lomba. Ternyata ini sangat menyenangkan.
Di bawah satu atap itu, gue belajar mendengarkan. Enak juga dua daun telinga ini lebih banyak berfungsi.
Sendiri memang enak, tapi bareng-bareng juga sama enaknya.
Mungkin punya teman adalah cara gue menuju dewasa.
Gue belajar mendukung.
Gue belajar berbagi dan mengalah.
Gue belajar mendengarkan.
Gue belajar menerima kekurangan orang lain.
Terpenting, gue belajar untuk lebih perasa.
Sebuah persahabatan akan menghantarkan ke persahabatan-persahabatan selanjutnya.
Gue jadi banyak punya sahabat baru sekarang.
Terimakasih untuk kalian yang dulu tidak pernah pergi, untuk kalian yang telah mendobrak benteng ini. Juga untuk kalian yang kemudian hadir.
*Pekalongan-Purwakarta. Kamandaka/239.