Sabtu, 20 Agustus 2016

Memaksa Kembali

Karena dapat orang tua yang percaya sama anaknya itu anugerah.

"Temen-temen Bali lo ke mana semua Nyak?"
Pertanyaan dari salah satu teman ini, kemudian juga menjadi pertanyaan ke diri gue sendiri. Ya, kemana teman-teman sesama perantauan Bali gue sekarang ya ? Karena terlihat gue gak pernah lagi bareng mereka.

Ada sejumlah teman bahkan jadi sahabat karena sama-sama menuntut ilmu di kota yang sama. Pergi dari Bali, merantau, tinggal bareng, dan memupuk mimpi bersama.
Selepas kuliah semua punya jalannya masing-masing. Ada yang lanjut master, ada yang kerja kek gue, yang nikah juga ada.
Terus gue sadar kalau tinggal gue sendiri doang di Jakarta. Sisanya kemana ? Setelah gue inventarisir, ternyata pada pulang kampung. Gue ingat baik-baik alasan mereka kenapa balik kampung. Ternyata karena orang tua.

Orang tua mereka secara gak langsung memaksa anaknya pulang. Jangan kerja di Jakarta. Di Bali aja. Banyak alasannya. Seperti, supaya gak nikah sama orang sana lah, supaya bisa bantu kewajiban adat dan agama di rumah lah. Atau supaya tetap bisa dikontrol aja.
Gue ? Bahkan gak boleh pulang. Nikah sama siapa aja boleh. Kerja apa juga yang penting bahagia.

Jujur gue kecewa sekali dengan teman-teman gue yang pada balik kampung. Bukannya gak boleh membangun tanah kelahiran. Boleh banget. Asal memang dari keinginannya sendiri. Bukan karena orang tua yang suruh.

Ternyata orang-orang dewasa itu buat anak supaya bisa ditaruhin mimpi-mimpi mereka. Supaya nemenin mereka ketika tua, bantuin mereka. Egois.

Ada temen gue yang ditarik pulang karena orang tuanya takut nanti anaknya nikah sama yang bukan Bali, terus pindah agama.
Ada temen gue yang tiap ditelfon ditanyain kapan pulang karena disuruh bantu-bantu di rumah.
Ada juga temen gue yang sudah diatur segala macam masa depannya di Bali termasuk jodoh dan kerjaan. Karena orang tuanya gak percaya sama anaknya. Ya mana tau anaknya gak bisa struggling di Jakarta.

Para orang tua itu pasti bilang gini "Gak ada yang lebih nyaman selain di rumah."
Tapi rumah bisa kita buat sendiri Om dan Tante. Kita bisa buat keluarga baru, kita bisa menemukan makna rumah di mana pun. Bukan sekadar di mana kita lahir dan dibesarkan.

Gue bukannya ingin teman-teman gue jadi anak durhaka yang ngelawan orang tua. Cuma ingin mereka bisa merdeka memilih jalan hidupnya sendiri.
Gue dibuat geleng kepala dengan tingkah pola orang tua teman-teman gue. Membatasi anaknya, diatur seperti boneka, tidak percaya pada kemampuan mereka. Padahal sudah dewasa. Padahal mereka orang-orang berpendidikan, terpandanglah di Bali.
Mungkin ini juga dipengaruhi kultur. Sepanjang pengamatan gue, teman-teman yang dari Sumatera, Jawa, dan pulau lain jarang orang tuanya minta anaknya pulang. Selama kuliah aja, kalau libur semester gak balik kampung juga gak masalah.

Lalu gue nanya ke Bape, "kenapa saya gak pernah ditarik pulang?"
Jawabannya, karena anak cuma titipan. Gue sudah besar, silahkan pilih jalan hidup sendiri. Beliau percaya gue seutuhnya.

Ternyata, kebebasan untuk menjadi diri sendiri itu mahal harganya.

Tapi yah, what do I know ? I am not a parent.

Jumat, 05 Agustus 2016

Pengganti

Everyone is replaceable Je, katanya.

Ada seseorang yang bilang ini ke gue. Katanya supaya gak baperan. Supaya gak mudah tunduk atau menyerah ke orang lain.
Gue jadi percaya. Gue menganggap, yaaa kalau temen gue yang ini pergi nanti juga dateng yang ono. Yaaaa, kalau putus sama yang ini nanti juga ada gantinya.

Sampai kemudian beberapa bulan lalu dia pergi. Bukan, bukan pacar, gebetan, atau semacamnya. Tapi salah seorang sahabat di kantor.
Ceritanya kami itu beda sekali. Dia introvert, gue ekstrovert. Dia gak punya banyak teman di kantor, sedangkan gue temenan sama banyak orang.
Tapi apa yang menyatukan kami? I don't know. Ngopi-ngopi jam 3 sore di kantin yang melahirkan banyak cerita. Atau juga nasi jinggo dan lele bakar di malam hari yang berujung curhatan.
Soal hal-hal berat masa lalu, kerjaan, mimpi, juga soal hal remeh temeh lainnya.
Rasanya gue sanggup ngejalanin pahit-pahitnya ini kantor dan berat-beratnya kerjaan karena punya temen cerita, ya dia ini.

Sampai akhirnya dia bilang mau resign. Gue masih berpikir ya tinggal cari pengganti temen cerita. Gue putar otak, nyatanya gak ada. Gak ada penggantinya.
Tidak ada yang bisa mengerti persis apa yang gue rasakan di kantor ini. Tidak ada lagi teman berbagi mimpi soal bidang penelitian.
Begitupun dia.
Mencoret tiap tanggal di kalender, menghitung mundur kepergiannya. Lucu.
Tidak pernah melewatkan barang sekalipun kopi sore di detik-detik hari terakhirnya.
Lalu dia benar-benar pergi. Gue merasa oleng. Tepat ketika lagu All I Ask-Adelle sedang booming. Persis jadi latar kisah kami.
Sampai gue duduk di cube dia dulu, supaya gue masih merasa dia ada. Ini lucu.
Sekarang sudah sekitar empat bulan dia pergi. Persahabatan kami tidak putus. Dia masih suka jemput ke kantor sembunyi-sembunyi buat kita ngobrol di sore hari. Gue masih suka ke rumahnya untuk cerita. Kalau chat sih jangan ditanya.
Gue tidak menemukan pengganti, gue juga tidak berniat mencari pengganti. Ternyata tidak semua orang bisa diganti. Sahabat gue ini tidak tergantikan.
Dia masih yang paling mengerti soal pekerjaan ini. Dia masih orang yang paling pertama akan gue hubungi soal perasaan gue di kantor.

Kehilangan mengajarkan banyak hal.
Soal menghargai...
Memahami waktu...
Juga tentang rendah hati.
Tuhan ingin bilang lewat cara yang manis sekali.
Bahwa tidak semua orang bisa tergantikan.

*Saat matahari mulai pamit di Bima, NTB