Sabtu, 24 Desember 2016

Parasit Manja

Wanita selamanya akan di bawah laki-laki jika yang diurusi hanya kecantikan dan pakaian (Soe Hok Gie)

Ada satu hal yang menggelitik sekaligus meresahkan gue. Kelakuan seorang kenalan yang belum ada sebulan pacaran bercerita kalau dia sedang mencari cara untuk mendapatkan uang dari pacarnya. Mungkin maksudnya morotin.
Lalu gue teringat seorang teman yang kalau pacarnya beli sesuatu gak penting malah disuruh mending beliin dia make up. Bahkan dia juga minta THR ke pacarnya. Lah, emang pacarnya perusahaan.

Melihat kelakuan sejumlah orang sekitar ini tentu menggelitik logika dan perasaan gue.
Lalu gue teringat apa yang Sudjiwo Tedjo pernah bilang, bahwa kemewahan pertama anak itu harus didapat dari orang tua.
Awalnya gue gak mengerti maksud pernyataan ini. Setelah gue pikir dan resapi, iya memang betul. Kalau seorang anak gak dapat kemewahan itu dari orang tua maka mereka akan cari ke tempat lain. Entah menjadi parasit atau mungkin parahnya jadi pelacur.
Gue melihat orang-orang yang menjadi parasit bagi pacar-pacarnya itu gak dapat kepuasan secara materi dari orang tuanya. Jadi mereka cari dari orang lain, ya mungkin dengan punya pacar yang bisa diporotin.

Ketika gue cerita ini ke Mbak-Mbak kantor. Ada perspektif berbeda dari mereka yang sudah menjadi orang tua.
Mungkin bukan kemewahan, karena standardnya beda-beda. Mungkin lebih ke rasa cukup.
Orang tua adalah yang pertama yang harus memberi rasa cukup ke anak-anaknya.
Mbak-mbak yang lain juga menambahkan, kalau masalah seperti ini bukan tentang rasa mewah atau cukup.
Melainkan sebuah nilai untuk mendapatkan sesuatu dari keringat sendiri. Meskipun anak-anak sudah berkecukupan dan hidup mewah tapi ya kalau manja buat apa.
Mereka gak tau atau gak diajarkan untuk mendapatkan sesuatu dari usaha sendiri.
Kalau lo gak dapat sesuatu atau ada yang gak puas ya cari. Usaha sendiri bukannya mengemis atau merengek manja.

Sebagai sesama perempuan, gue miris kalau ngeliat ada perempuan yang seperti itu.
Manja, tidak mandiri dan menjadi parasit laki-laki.
Seenggaknya punya harga diri dikitlah. Pay your own bill!
Kalau isi otak cuma gimana caranya cari duit dari laki buat beli foundation, bb cream, concealer, lipstick dkk dll ya kapan kita majunya.
Pernyataan Soe Hok Gie bahkan masih sangat relevan sampai saat ini.
Kalau begini terus ya kita perempuan ya cuma segini-gini aja, yaitu akan selalu di bawah laki-laki.

Minggu, 13 November 2016

Sepi

Ah hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak sepi (Joko Pinurbo)

Salah seorang sahabat mengeluh kesepian. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, mobilitas yang tinggi, dan tidur yang cuma 2-3 jam sehari. Tapi ternyata dia kesepian.
Dia pengen punya pacar, butuh afeksi. Butuh tempat bersandar.

Ketika gue cerita ke sahabat gue yang lain soal ini. Dia langsung nangis, kaget dan gak menyangka kalau sahabat kita yang super sibuk ini ternyata kesepian.

Gue jadi mengingat cerita-cerita orang terdekat tentang kesepian. Ada salah satu sahabat yang awalnya menepi, mencari tempat tinggal supaya bisa sendiri. Terus berpindah, akhirnya sadar kalau dia butuh orang. Dia butuh teman bercerita.

Ada sahabat yang kalau di kamar selalu menghidupkan TV. Supaya ada suara saja, itu alasannya. Supaya tidak merasa kesepian.

We need people. Mungkin ternyata begitu. Terlepas dari kesibukan sepanjang hari. Kita butuh tempat mengadu di penghujung hari.

Tapi sebegitu menakutkankah sepi, sampai semua orang menghindarinya.
Sampai banyak yang rela melakukan apapun agar tidak merasa sepi.
Pasti kita pernah dengar orang yang rela disakiti atau direndahkan agar tidak kehilangan orang itu. Semata-mata agar tidak kesepian.
Pasti ada di antara kita yang bertahan di hubungan yang salah agar tidak sendirian, agar tidak kesepian.
Berapa banyak orang yang masih merasa sepi padahal di tengah keramaian ?
Berapa banyak di antara kita yang tidak masalah mati sendirian ?

Iwan Kurniawan pernah bilang, salah satu ciri utama manusia jaman sekarang adalah kesepian. Jiwanya kosong.
Sibuk setiap hari tanpa jeda tapi sebenarnya kesepian.
Tidak pernah lepas dari gadget padahal itu hanya keramaian palsu.
Joko Pinurbo juga pernah bilang, sepinya kita itu semakin modern.
Mungkin kita yang nampak ramai di media sosial itu cuma palsu. Aselinya gak begitu. Kalau bubaran juga langsung kesepian.

Lalu apa yang salah dengan sepi ?
Pasti rasa itu pernah mampir walau hanya sebentar.
Bukannya harus mati-matian dihindari.
Atau mungkin kita hanya harus belajar, bagaimana caranya menikmati rasa sepi.

Senin, 10 Oktober 2016

Ruang Sendiri

"Jarak itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa didekati." (GM)

Salah seorang sahabat bercerita. Kalau dia senang suaminya gak ada di rumah. Gak ada yang bawelin dia. Gak ada yang komentarin baju yang dia pakai. Dia bebas mau ini itu, mau ke mana, mau ngapain.
Tapi dia ngerasa berdosa. Teman-temannya dia yang sudah menikah bahkan bilang kalau pernikahannya gak beres.
Haha lappet sih ini.
Tapi apa tanggapan gue ?
Ya gak masalah lah, wajar. Itu namanya butuh me time. Gimana coba sama orang yang sama melulu hampir 24 jam. Bukan gak mungkin kita kehilangan diri kita kan.

Bukan sekali ini doang gue dicurhatin sama orang yang butuh waktu sendiri. Orang yang ingin menjauh sejenak, menciptakan jarak.

"Gue pengen gak ada dia sebentar aja, Je. Gue butuh berpikir jernih tanpa ada dia." Ujar salah satu teman gue yang butuh break setelah empat tahun pacaran.

Ini membuat gue bertanya ke salah satu bro sobi yang sudah nikah. Bahwa seseram itukah bareng orang.

"Enggak Jeng. Makanya kalau nikah tetaplah ketemu sama temen lo. Kek gue sama lo gini." Ujarnya.

Sebenarnya kejadian-kejadian kek gini bisa dihindari kalau kita menciptakan jarak itu tadi.
Buat gue, kita itu lahir sebagai makhluk pribadi dulu baru makhluk sosial.
Kita harus temenan sama diri kita dulu. Kita harus isi hidup kita dulu. Baru kita bareng orang lain.
Jangan lupa sama diri sendiri dan malah sibuk sama orang lain.
Jangan lupa kalau kita punya hidup sendiri yang harus kita isi.
Egois ? Jelas tidak.
Ya logika aja, kalau lo aja gak bener sama diri lo. Gimana mau bareng orang lain.

Makanya gue tidak percaya kalau kita itu incomplete sampai harus ketemu orang lain untuk melengkapi diri kita.
No, we are a person. Not half person.

Menurut gue, tiap orang itu punya empat dunia yang dijalani. Pertama, sama dirinya sendiri. Kedua, sama keluarga. Ketiga, sama sahabat. Terakhir, sama pasangan.
Punya pasangan itu gak boleh ngejauhin kita sama sahabat atau keluarga kita. Apalagi sama diri kita sendiri.
Sibuk mengasingkan diri berdua.
Nanti dia pergi, terus lo jadi lupa siapa diri lo. Sad.
Intinya soal priorities. Utopis rasanya kalau bisa balance semua kan.

Gue juga suka sebel kalau ada artikel-artikel percintaan yang ngasi tips gimana caranya cewek bisa blend sama hobi cowoknya.
Karena jawabannya cuma satu.
Get a life bitch!!!
Lo punya hidup sendiri. Lo punya sahabat, lo punya keluarga, kerjaan, hobi. Ya sedih sih kalau gak punya.
Makanya cari. Jangan ngerecokin hidup orang.

Kita memang butuh ruang sendiri. Apapun bentuknya. Lewat hobi atau pekerjaan.
Jarak kadang harus diciptakan untuk menyehatkan.

Kalau kata Tulus di salah satu lagunya, kita masih butuh ruang sendiri-sendiri untuk bisa memahami rasanya sepi.

Selamat mengisi ruang di diri kita sendiri.

Minggu, 11 September 2016

Mengenal Diri

"Terus lo sukanya apa?"
"Lari. Sejak 10 tahun lalu."
"Beruntung ya di usia segini lo sudah tau apa yang lo suka."

Itu adalah dialog yang terjadi di kantor. Pada suatu malam habis gue berlari. Salah seorang teman kantor ngomongin diving dan ngajak gue. Kebetulan gue gak suka, gak mau aja tepatnya.
Tanggapannya lucu juga. Ternyata tau apa yang kita suka menurut orang lain adalah keberuntungan.

Sejalan dengan itu. Baru saja kemarin, gue kumpul dengan sobi-sobi semasa kuliah. Salah seorang sahabat melempar isu.
Kalau dia ngerasa hidupnya kosong. Gak punya trigger buat ngelakuin apapun. Gak tau sukanya apa. Gak tau passionnya apa.
Dari kecil dia selalu ngikut arus.
Milih sekolah, kuliah, termasuk kerjaan.
Beruntungnya dia selalu dapat yg bagus-bagus.
Apapun yang dikasi ke dia, dia kerjain. Hidupnya seperti itu.
Tapi dia pengen banget tau yang dia suka apa. Dia ngerasa pasti beda banget rasanya ngelakuin sesuatu atas dasar suka.

"Lo kalau tanya gue di mana gue 5 tahun lagi? Gue gak tau. Bahkan kalau gue gak ada juga gak apa-apa. Gue butuh sebuah alasan paling enggak buat hidup aja."

Seorang sahabat lainnya menimpali. Kalau dia juga gak tau sukanya apa. Tapi dia tau banget bahwa pekerjaannya saat ini bukan dia banget. Dia ngasi target kapan harus resign. Sekarang dia lagi mikir dan nyari tau maunya apa.

Apa tanggapan gue ? Ya cari. Passion itu gak mungkin random kan.
Gue gak mungkin tiba-tiba bangun di pagi hari terus suka socio legal.
Ya asalnya dari nyoba segala bidang waktu kuliah.
Gue juga gak mungkin lagi pup terus tiba-tiba suka lari.
Ya asalnya dari nyoba segala jenis olahraga waktu kecil.
Gue juga gak mungkin waktu SD sudah tau kalau besar nanti ingin jadi peneliti hukum.

Intinya ya cari. Terus mencari apa yang kita suka. Apa yang kita banget. Prosesnya mungkin beda-beda di tiap orang. Ada yang lama dan ada yang sebentar.
Tapi percayalah itu semua gak mungkin random.
Jadi gak mungkin tiba-tiba lo suka sesuatu. Itu pasti hasil dari pencarian.
Dari kecil kita sudah dihadapkan dengan berbagai pilihan. Kita belajar untuk memilih.
Mau sekolah di mana, les apa, atau kuliah apa.
Kita belajar untuk memilih berikut alasan dan konsekuensi logisnya.
Gue juga benci kalau orang ngerasa gak punya pilihan dalam hidupnya.
Kita semua punya pilihan, selalu. Mungkin lo takut aja buat milih.
If you don't like where you are, move. You are not a tree.

Kalau kata temen gue yg Psikolog Pendidikan, decision making itu penting banget dari kecil.
Kalau orang tua sudah mengajarkan anaknya untuk mengambil keputusan sejak kecil. Hal-hal seperti yang gue ceritakan tadi akan bisa dihindari.
Ketika orang tua memberi kebebasan bagi si anak untuk memilih. Tanyakan kenapa dan jelaskan apa konsekuensi logisnya.
Gue jadi inget salah satu sahabat yang sejak kecil dari sprei, gorden, sampai baju dipilihin sama orang tuanya.
Jadinya ketika besar dia kesusahan milih sesuatu dalam hidupnya. Dia sulit untuk memutuskan hal-hal yang terjadi di dirinya.
Tapi rasanya, sungguh tidak pantas untuk menyalahkan parenting method dari orang tua kita di usia segini.

Semakin kita kenal diri kita. Akan sangat gampang bagi kita untuk memutuskan sesuatu di diri kita.

Karena katanya Presiden Jancukers, yang ikut arus itu cuma bangkai, sampah, dan eek.

Minggu, 04 September 2016

Ibu-Ibu Nyinyir

Sibuk dan jatuh cintalah. Sehingga mulut dan tingkah lakumu gak mampu nyakitin orang lain. (Tommy Prabowo)

Ada beberapa kejadian yang menimpa gue saat bersinggungan dengan sekumpulan Ibu-Ibu nyinyir. Sehingga gue gatel buat diskusi lalu menulis tentang ini.

Mereka, ibu-ibu nyinyir ini ada aja yang komentar. Mulai dari fisik laki orang, kerjaan orang, bahkan kehidupan rumah tangga orang.
Asahan mulutnya gue rasa tajem banget sih sampai mudah banget rasanya ngina orang lain.
"Jelek banget sih pacarnya si itu hahaha"
"Ah nikahnya kemudaan sih jadi gitu kan..."
"Bego banget deh dia resign, mau dikasi makan apa isterinya"

Selalu dan akan selalu ada saja komentar mereka, tapi dari sisi negatif. Rasanya gak ada sisi positif yg bisa mereka lihat dari seseorang.
Semua orang bisa jadi korban mereka, baik dekat ataupun tidak.

Gue bingung kenapa mayoritas perempuan keknya kalau jadi Ibu-Ibu jadi nyinyir. Mereka berubah jadi rempong dan suka berkomentar jahat.
Bahkan mereka gampang banget mengejek sesama perempuan. Bukan karena memiliki latar belakang sama, jadi paling mengerti ya seharusnya.

Gue inget banget kejadian waktu Happy Salma post foto sama Cok Gus di Instagram. Tetep aja ada yg komen, "alisnya gak rapi ya"
Oh come on, itu orang sudah cantik banget ditambah suaminya ganteng banget gitu dan masih ada aja yg comment jahat yak.
Pernah juga seorang sutradara post foto sahabat ceweknya di instagram terus minta pendapat gimana kira-kira cewek ini. Komentar jahanam malah justru keluar dari perempuan.
"Bitch banget...."
"Ih kek pecun"

Temen gue bahkan ada yang gak mau foto Pre Wed karena gak mau ibu-ibu nyinyir komentar. Karena dia yakin akan pasti ada saja hal yang gak sempurna yang dilihat para ibu-ibu akan pilihan suaminya.

Sebagian dari kita pasti ada yg pernah lihat meme yang kurang lebih bilang "waspadalah sehabis nikah di gedung, pilihan asi atau susu formula akan jadi bahan gunjingan selanjutnya"
Seolah gak ada yang bisa lepas dari komentar ibu-ibu nyinyir ini.

Apa sebenarnya yang terjadi sama sejumlah Ibu-Ibu Nyinyir Indonesia ini ?
Kalau dari hasil ngobrol gue sama sejumlah orang. Ada yang bilang karena mereka tidak punya kultur memuji.
Sulit sekali buat mereka memuji sesama perempuan. Ada yang pakai make up dikit langsung dikatain menor apa segala macem. Padahal gue yakin maksudnya bukan itu. Mereka mau bilang cakep, kok beda gitu. Tapi gak keluar aja dari mulutnya. Padahal kalau mereka didandanin juga pasti seneng sih.

Ada juga yang bilang karena mereka sebenarnya sedang menertawakan nasib atau ketidak beruntungan mereka sendiri. Mereka ngatain fisik laki orang, mungkin karena miris kok gak dapet yang macam begitu.

Mereka mungkin juga gak puas sama hidupnya sekarang. Jadi sibuk nyinyirin hidup orang lain. Gue percaya orang kalau bahagia sama hidupnya, kecil kemungkinan nyakitin orang lain.

Heran aja, kenapa sesama perempuan kok saling menyakiti. Malah saling merendahkan kaumnya sendiri. Bahkan kalau gue liat Mas-Mas sekitaran gue lebih bisa supportive dan gak judgemental atas hidup orang lain.

Sekumpulan ibu-ibu nyinyir ini sungguh merusak perdamaian. Rasanya sulit ketemu ibu-ibu asik dan seru gitu di jaman sekarang. Entah dari berbagai alasan di atas tadi, mana yang paling cucok.

Atau mungkin mereka ternyata hanya kurang kelon....

Sabtu, 20 Agustus 2016

Memaksa Kembali

Karena dapat orang tua yang percaya sama anaknya itu anugerah.

"Temen-temen Bali lo ke mana semua Nyak?"
Pertanyaan dari salah satu teman ini, kemudian juga menjadi pertanyaan ke diri gue sendiri. Ya, kemana teman-teman sesama perantauan Bali gue sekarang ya ? Karena terlihat gue gak pernah lagi bareng mereka.

Ada sejumlah teman bahkan jadi sahabat karena sama-sama menuntut ilmu di kota yang sama. Pergi dari Bali, merantau, tinggal bareng, dan memupuk mimpi bersama.
Selepas kuliah semua punya jalannya masing-masing. Ada yang lanjut master, ada yang kerja kek gue, yang nikah juga ada.
Terus gue sadar kalau tinggal gue sendiri doang di Jakarta. Sisanya kemana ? Setelah gue inventarisir, ternyata pada pulang kampung. Gue ingat baik-baik alasan mereka kenapa balik kampung. Ternyata karena orang tua.

Orang tua mereka secara gak langsung memaksa anaknya pulang. Jangan kerja di Jakarta. Di Bali aja. Banyak alasannya. Seperti, supaya gak nikah sama orang sana lah, supaya bisa bantu kewajiban adat dan agama di rumah lah. Atau supaya tetap bisa dikontrol aja.
Gue ? Bahkan gak boleh pulang. Nikah sama siapa aja boleh. Kerja apa juga yang penting bahagia.

Jujur gue kecewa sekali dengan teman-teman gue yang pada balik kampung. Bukannya gak boleh membangun tanah kelahiran. Boleh banget. Asal memang dari keinginannya sendiri. Bukan karena orang tua yang suruh.

Ternyata orang-orang dewasa itu buat anak supaya bisa ditaruhin mimpi-mimpi mereka. Supaya nemenin mereka ketika tua, bantuin mereka. Egois.

Ada temen gue yang ditarik pulang karena orang tuanya takut nanti anaknya nikah sama yang bukan Bali, terus pindah agama.
Ada temen gue yang tiap ditelfon ditanyain kapan pulang karena disuruh bantu-bantu di rumah.
Ada juga temen gue yang sudah diatur segala macam masa depannya di Bali termasuk jodoh dan kerjaan. Karena orang tuanya gak percaya sama anaknya. Ya mana tau anaknya gak bisa struggling di Jakarta.

Para orang tua itu pasti bilang gini "Gak ada yang lebih nyaman selain di rumah."
Tapi rumah bisa kita buat sendiri Om dan Tante. Kita bisa buat keluarga baru, kita bisa menemukan makna rumah di mana pun. Bukan sekadar di mana kita lahir dan dibesarkan.

Gue bukannya ingin teman-teman gue jadi anak durhaka yang ngelawan orang tua. Cuma ingin mereka bisa merdeka memilih jalan hidupnya sendiri.
Gue dibuat geleng kepala dengan tingkah pola orang tua teman-teman gue. Membatasi anaknya, diatur seperti boneka, tidak percaya pada kemampuan mereka. Padahal sudah dewasa. Padahal mereka orang-orang berpendidikan, terpandanglah di Bali.
Mungkin ini juga dipengaruhi kultur. Sepanjang pengamatan gue, teman-teman yang dari Sumatera, Jawa, dan pulau lain jarang orang tuanya minta anaknya pulang. Selama kuliah aja, kalau libur semester gak balik kampung juga gak masalah.

Lalu gue nanya ke Bape, "kenapa saya gak pernah ditarik pulang?"
Jawabannya, karena anak cuma titipan. Gue sudah besar, silahkan pilih jalan hidup sendiri. Beliau percaya gue seutuhnya.

Ternyata, kebebasan untuk menjadi diri sendiri itu mahal harganya.

Tapi yah, what do I know ? I am not a parent.

Jumat, 05 Agustus 2016

Pengganti

Everyone is replaceable Je, katanya.

Ada seseorang yang bilang ini ke gue. Katanya supaya gak baperan. Supaya gak mudah tunduk atau menyerah ke orang lain.
Gue jadi percaya. Gue menganggap, yaaa kalau temen gue yang ini pergi nanti juga dateng yang ono. Yaaaa, kalau putus sama yang ini nanti juga ada gantinya.

Sampai kemudian beberapa bulan lalu dia pergi. Bukan, bukan pacar, gebetan, atau semacamnya. Tapi salah seorang sahabat di kantor.
Ceritanya kami itu beda sekali. Dia introvert, gue ekstrovert. Dia gak punya banyak teman di kantor, sedangkan gue temenan sama banyak orang.
Tapi apa yang menyatukan kami? I don't know. Ngopi-ngopi jam 3 sore di kantin yang melahirkan banyak cerita. Atau juga nasi jinggo dan lele bakar di malam hari yang berujung curhatan.
Soal hal-hal berat masa lalu, kerjaan, mimpi, juga soal hal remeh temeh lainnya.
Rasanya gue sanggup ngejalanin pahit-pahitnya ini kantor dan berat-beratnya kerjaan karena punya temen cerita, ya dia ini.

Sampai akhirnya dia bilang mau resign. Gue masih berpikir ya tinggal cari pengganti temen cerita. Gue putar otak, nyatanya gak ada. Gak ada penggantinya.
Tidak ada yang bisa mengerti persis apa yang gue rasakan di kantor ini. Tidak ada lagi teman berbagi mimpi soal bidang penelitian.
Begitupun dia.
Mencoret tiap tanggal di kalender, menghitung mundur kepergiannya. Lucu.
Tidak pernah melewatkan barang sekalipun kopi sore di detik-detik hari terakhirnya.
Lalu dia benar-benar pergi. Gue merasa oleng. Tepat ketika lagu All I Ask-Adelle sedang booming. Persis jadi latar kisah kami.
Sampai gue duduk di cube dia dulu, supaya gue masih merasa dia ada. Ini lucu.
Sekarang sudah sekitar empat bulan dia pergi. Persahabatan kami tidak putus. Dia masih suka jemput ke kantor sembunyi-sembunyi buat kita ngobrol di sore hari. Gue masih suka ke rumahnya untuk cerita. Kalau chat sih jangan ditanya.
Gue tidak menemukan pengganti, gue juga tidak berniat mencari pengganti. Ternyata tidak semua orang bisa diganti. Sahabat gue ini tidak tergantikan.
Dia masih yang paling mengerti soal pekerjaan ini. Dia masih orang yang paling pertama akan gue hubungi soal perasaan gue di kantor.

Kehilangan mengajarkan banyak hal.
Soal menghargai...
Memahami waktu...
Juga tentang rendah hati.
Tuhan ingin bilang lewat cara yang manis sekali.
Bahwa tidak semua orang bisa tergantikan.

*Saat matahari mulai pamit di Bima, NTB

Selasa, 05 Juli 2016

Pengakuan dan Kelakuan

Seorang sahabat bercerita, rencananya setelah lebaran dia akan menggunakan jilbab.
Lalu gue diam...speechless haha.
Respon pertama gue adalah menanyakan alasannya apa.
Dia menjawab tidak ada alasan.
Lalu gue bilang, kalau katanya Bape dalam hal apapun harus punya alasan. Jadi kalau kita goyah atau melenceng bisa kembali ke alasan tersebut. Tapi di satu sisi gue menambahkan, pasti ada beberapa keputusan dalam hidup kita yang tanpa alasan, karena pengen aja.

Lalu dia menjelaskan semuanya.

Hal yang gue bilang adalah, yang penting kamu bahagia. Apapun keputusanmu. Apapun langkah yang ingin kamu ambil dalam hidupmu. Aku gak peduli apakah itu perintah Tuhan atau kitab suci. I will support you, yang penting kamu yakin, percaya, dan bahagia.

Paling menyentuh sampai gue ingin menulis ini adalah tanggapannya.
"Aku seneng deh, kenapa kamu yang bukan Muslim malah lebih bisa nerima keputusanku dibanding sahabat or saudaraku yg Muslim."

Gue tersenyum

"Aku gak pernah tau agamamu apa. Aku gak pernah liat kamu sembahyang. Menurutku, kamu gak dekat dengan Tuhan. Tapi kenapa justru kamu yang bisa menanggapi soal ini dengan lebih baik."

Apa jawaban gue?

Karena kita gak butuh agama kalau hanya soal beginian. Kita butuhnya pikiran yang terbuka. Gak ada hubungannya seagama atau gak. Kalau pikirannya sempit, mau hapal kitab suci juga percuma.
Karena gue gak terikat dengan agama apapun that's why gue gak punya prejudice atas sikap-sikap semacam ini.

Sesungguhnya gue agak miris. Masih ada saja orang berpendidikan memandang orang hanya dari rajinkah dia sembahyang atau suka nyebut ayat sucikah dia . Lagi pula, dari mana taunya orang itu dekat sama Tuhan or enggak. Cuma dari rajin ibadah?
Itu semua gak linear sayang. Religion is an illusion.
Pemuka agama juga ada yang memperkosa kok. Orang atheis juga banyak yang rajin menolong orang lain.
Beragama gak menjamin kamu orang baik. Begitu pula sebaiknya.
Semoga di hari yang fitri ini, kita gak beragama cuma di seremoni semata. Tapi juga tercermin di perilaku.
Karena dalam hidup yang penting itu kelakuan. Bukannya pengakuan.

*Soekarno-Hatta di kala Lebaran

Rabu, 22 Juni 2016

Mereka yang Mendobrak

Dengan apa harus ku bayar hutang rasaku? (Sudjiwo Tedjo)

Ada berbagai macam jenis hutang selama kita hidup. Hutang uang tinggal dibayar dengan uang. Hutang budi juga tinggal dibalas dengan perbuatan. Tapi bagaimana dengan hutang perasaan ?
Salah satu hutang yang sampai saat ini belum bisa gue bayar kepada mereka. Iya, hutang perasaan.

Ceritanya dulu gue individualis sekali. Introvert parah, tidak suka berteman dekat, tidak suka kerja dalam team, tidak suka bareng orang intinya.
Alasannya, kehadiran orang lain pasti akan mengacaukan hidup gue. Mimpi gue akan terganggu jika punya teman. Gue akan cenderung memilih bermain dengan teman dan melupakan ambisi. Begitu kata beliau, sehingga gue tidak pernah benar-benar punya teman.

Sampai ketika gue tidak tinggal di rumah lagi. Lalu bertemu beberapa orang yang kemudian membentuk kelompok termasuk gue di dalamnya.
Mereka mengajak makan di kantin sepulang kuliah. Menurut gue ini sangat aneh. Untuk apa duduk ngobrol gak jelas gitu? Lebih baik pulang dan belajar atau sendiri membaca novel.
Lalu mereka mengajak belajar bareng untuk ujian. Ini juga gue anggap aneh, kenapa harus bareng kan bisa belajar sendiri.
Pulang kuliah nempel terus, ngobrol gak jelas sampai malam. Risih sekali rasanya dulu. Makan ditemenin, pergi ke perpus ditemenin. Bahkan gue sampai mengubah jadwal lari dari pagi ke sore untuk menghindari mereka. Nyatanya mereka tidak pergi juga.

Tidak cukup dengan semua itu. Gue harus tinggal seatap dengan orang-orang baru. Berkompromi, berinteraksi, diberi intervensi supaya tetap damai.

Mungkin gue tidak bisa menghindar selamanya. Salah seorang anggota kelompok sedang mengikuti lomba dan semuanya datang menonton memberi semangat, kecuali gue.
"Nyak, kenapa gak datang kemarin?" tanyanya.
"Oh, gue ada urusan di rumah tante gue." Jawab gue bohong, padahal hanya mengungsi ingin baca novel.
"Yahhh, padahal kan gue lomba. Semuanya datang kecuali lo."

Iya, kesannya gue jahat sekali. Sungguh bukan maksud seperti itu. Gue hanya gak tahu berteman itu seperti apa. Gue gak tahu kalau berteman itu saling mendukung, saling menemani satu sama lain.

Di bawah satu atap itu gue juga kena intervensi. Si dominan yang tidak pernah mau kalah dan mendengarkan orang lain.

Gue cuma gak tahu kalau temenan itu berarti mendengarkan. Kalau temenan itu juga belajar untuk mengalah. Tidak ada yang menang atau kalah. Tidak semua hal adalah kompetisi.

Akhirnya gue memutuskan untuk berani berteman.

Gue mulai ikut duduk di kantin sepulang kuliah. Kami ngobrol banyak hal, tertawa sampai nangis. Ternyata ini menyenangkan.
Gue mulai minta ditemenin belanja atau ke perpus. Ini juga menyenangkan.
Gue ajak mereka nonton gue lomba. Mereka bantu ketika persiapan. Mereka duduk di bangku penonton. Senyum, menyemangati, dengerin cerita gue setelah lomba. Ternyata ini sangat menyenangkan.

Di bawah satu atap itu, gue belajar mendengarkan. Enak juga dua daun telinga ini lebih banyak berfungsi.

Sendiri memang enak, tapi bareng-bareng juga sama enaknya.
Mungkin punya teman adalah cara gue menuju dewasa.
Gue belajar mendukung.
Gue belajar berbagi dan mengalah.
Gue belajar mendengarkan.
Gue belajar menerima kekurangan orang lain.
Terpenting, gue belajar untuk lebih perasa.

Sebuah persahabatan akan menghantarkan ke persahabatan-persahabatan selanjutnya.
Gue jadi banyak punya sahabat baru sekarang.
Terimakasih untuk kalian yang dulu tidak pernah pergi, untuk kalian yang telah mendobrak benteng ini. Juga untuk kalian yang kemudian hadir.

*Pekalongan-Purwakarta. Kamandaka/239.

Sabtu, 21 Mei 2016

Generasi Kebelet Nikah

Baru saja ketemu teman rock star, sesama gadis ambi yang juga feminist.
Banyak topik yang kami bahas, perdebatkan hingga menarik simpulan. Salah satunya tentang keheranan kami kenapa begitu banyak teman-teman seumuran yang galau bet pengen nikah.
Kami bahas teman-teman kami yang sudah menikah, berikut alasannya. Gue memang selalu bertanya alasan menikah ke teman-teman terdekat.
Ada yang menikah karena ngerasa kuat bersama. Dia ngerasa lebih kuat aja buat ngejalanin hidup ke depannya sama suaminya.
Lalu gue mikir, kenapa kita harus bareng orang ya buat jadi kuat ? Gak bisakah kita kuat dengan diri kita sendiri saja ?
Paling lucu ada teman yang pengen nikah karena ingin ke luar dari rumah. Ini sih gawat ya. Cara ke luar dari rumah kan banyak. Sekolah atau kerja yang jauh misalnya. Kenapa jadi mengambil pilihan yang sangat beresiko buat masalah yang sederhana seperti tidak ingin tinggal di rumah.
Bisa jadi sebenarnya dia juga takut ke luar rumah. Gak berani ambil resiko dengan tinggal sendiri. Kalau nikah dia bisa ke luar rumah tapi bareng orang lain dan bisa bersandar.
Trust me, takut sendiri is the root of most bad choices in life.
Alasan paling common adalah supaya halal. Sebagai orang yang tidak religius gue paling susah bisa nerima alasan ini. Jadi lo nikah buat melegalkan seks doang. Buset picik banget.
Riset berkata, usia paling pas untuk perempuan menikah adalah sekitar 25 tahun. Sedangkan pria menuju 30 tahun. Karena di usia segini baik pria dan wanita otaknya gak cuma nafsu doang. Jadi menikahnya bukan karena nafsu semata.
Mungkin riset ini bisa jadi pertimbangan.
Banyak sekali teman-teman terutama perempuan yang kalau tiap kumpul bahasannya pengen nikah melulu. Seolah tidak ada topik lain. Nikah itu boleh kok. Silahkan saja. Tapi bisa kan gak sampai gila ngebetnya.
Kenapa sih rasanya nikah itu harus banget ? Gak bisa santai aja gitu.
Ada artikel yang pernah ngebahas ini, menurut penulisnya karena kita terbuai sama cerita dongeng Cinderella yang ketemu pangeran tampan lalu hidup bahagia.
Menurut gue ada yang lebih mendasar dari sekedar pengaruh media.
Jawabannya adalah keluarga.
Budaya ketimuran ini selalu memandang pencapaian hidup, terutama perempuan itu dari penerimaan oleh orang lain.
Itu mengapa image "perawan tua" gak banget di negara ini.
Itu kenapa punya pasangan rasanya membanggakan sekali.
Maka label "laku" jadi penting.
Kita diajarkan untuk hidup normal. Seperti sekolah, lalu kuliah, lalu tamat, lalu bekerja. Terus apa ? Nikah dong tentunya.
Jadi ketika sudah dapat kerja. Para orang tua sudah mulai gelisah ingin anaknya menikah.
Seolah-olah tidak ada pencapaian lain dalam hidup.
Kebiasaan terus-terusan bertanya kapan nikah atau sudah punya pacar ini juga buruk.
Kepo banget sih, kebiasaan sibuk ngurusin hidup orang lain ya. Pengangguran apa gak bahagia sama hidupnya sih biasanya.
Bahkan ada beberapa teman yang malas pulang kampung karena kesel ditanyain melulu soal ginian.
Gila sih, merusak tali silaturahmi banget.
Kebetulan keluarga gue dan teman ini sama sekali gak menjunjung tinggi pernikahan. Meskipun kami perempuan.
Anak perempuan lebih dari sekedar tanggungan yang buru-buru harus dilepas.
Anak perempuan bukan barang dagangan yang harus dibanggain kalau laku. Supaya gak malu sama toko-toko sebelah.
Pencapaian anak perempuan lebih dari sekedar bisa menikah.
Masih banyak prestasi lain yang bisa dibanggakan. Sekolah tinggi, pekerjaan yang baik, atau berguna bagi orang banyak.
Tumbuh di keluarga yang bisa lebih menghargai anak perempuan menjadikan kami gak pernah berpikir soal menikah.
Masih banyak hal yang bisa di-explore di dunia ini. Life spend masih panjang. Begitu banyak hal yang masih bisa diraih.
Maka kami berpikir keluarga adalah yang paling besar mempengaruhi teman-teman di generasi kami kebelet nikah.
Jadi berhentilah bertanya atau mendesak anak soal pernikahan. Semua orang punya petualangan hidupnya masing-masing.
Kita sebagai teman juga jangan memberi insentif lebih. Banyak hal yang bisa dibanggakan selain punya kekasih atau akhirnya bisa menikah.
Jomblo seolah-olah menjadi komoditi. Banyak orang jadi takut sendiri. Mereka berlomba-lomba melepas status single. Bahkan banyak yang rela melakukan segala cara.
Hargai setiap pilihan orang lain. Gak nikah juga gak dosa kan.
Terpenting kan bahagia. Orang yang bahagia itu gak akan sibuk nyakitin orang lain. Gak rese lah.
Gue hampir tidak pernah mendoakan orang ketika ulang tahun untuk segera punya pacar, nikah, langgeng atau semacamnya. Hal yang gue doakan adalah supaya bahagia. Karena bahagia itu mencakup semuanya. Karena bahagia tiap orang itu beda-beda versinya. Bisa aja itu bukan bahagia yang mereka mau kan.
Nampaknya kebiasaan ini wajib ditularkan.
Gue juga bukan anti pernikahan.
Companionship juga membahagiakan.
Hanya gak ingin orang-orang menaruh standard yang sama untuk kebahagaiaan tiap orang.
Gak semua jomblo pengen punya pacar.
Gak semua orang pacaran pengen nikah.
Maka hargai keputusan tiap orang. Semua punya jalannya masing-masing.
Untuk Indonesia yang lebih selow.
Untuk bangsa yang mengurangi kepo.
Untuk generasi yang tidak masalah kalau jomblo..

Berbeda Wajah

Seorang teman sebut saja X mengeluhkan soal salah satu teman, yaitu Y yang kelihatannya berubah.
Si Y bergaul sama genggong bitch di kantornya. Bertingkah seolah-olah jadi bitch juga. Kelihatannya menikmati. Tapi nanti datang ke X cerita kalau sebenarnya Y gak suka sama genggong itu.

Kalau gue perhatikan polanya sejak dulu. Teman gue ini, si Y memang seperti itu. Di depan orang banyak dia akan bertingkah gimana. Nanti sama peer group-nya dia akan jadi kebalikannya.
Di depan orang-orang dia seolah wanita independent. Tapi ikut ini itu harus ijin pacarnya.
Dia tunjukin ke dunia kalau dia bitch, pacarnya gak penting. Tapi dia setia bertahun-tahun, bahkan bacin.
Dia tampilkan ke orang-orang kalau dia ambi sama kerjaannya. Tapi sebenarnya dia ingin berhenti dan cari kerja lain.
Dia buat orang-orang berpikir kalau dia wanita strong tak butuh lelaki. Nyatanya dia ingin menikah layaknya wanita normal lainnya.

Awalnya gue berpikir bahwa ini caranya dia untuk melindungi diri agar tidak mudah disakiti. Istilahnya sikapnya dia untuk mengamankan dia. Jadi dia bisa apa adanya cuma di depan orang terdekat.
Di satu sisi gue setuju, pasti kita cuma bisa apa adanya sama orang yang benar-benar dekat dengan kita kan.
Tapi apa memang harus sampai berubah jadi orang lain ?
Lama-lama gue mikir ini bukan cara dia untuk melindungi diri atau bagaimana. Kesimpulan yang gue dapat dia ingin bisa mingle sama semua orang. Dia ingin diterima sama banyak orang.

Baru aja di kantin kantor seorang teman bilang kalau salah satu teman kantor kita sering berpura-pura kuat.

"Padahal kita harusnya jadi diri sendiri ya Jeng. Tapi itu sulit sekali." ujarnya.

Kalau kita bisa menerima diri kita sendiri dengan jujur. Bukannya nanti jadi sangat mudah untuk melalui apapun.
Kenapa harus sampai memodifikasi diri ?
Kita memang gak bisa dekat dengan semua orang.
Kita juga gak bisa bahagiain semua orang karena kita kan manusia.
Setakut itukah untuk jadi diri sendiri ?
Kalau kamu aja gak bisa nerima diri kamu. Gimana orang lain bisa ?
Apa gak capek berpura-pura jadi orang lain ya ?

Jadi ingat salah satu cerita di Komik Mafalda.
Waktu itu dia baca nasehat tentang "Kenali Dirimu" lalu dia cerita ke Felipe.
Kemudian Felipe ingin mengenali dirinya sendiri. Ia akan mencari dirinya sendiri dan tak akan berhenti sampai menemukannya. Lalu dia berkata:

"Tapi gimana kalau aku gak suka sama diriku sendiri Mafalda ?"

Mungkin teman-teman gue seperti Felipe.

Jumat, 15 April 2016

Atas Nama Sayang

Ada yang bilang pisahin kehidupan pribadi dan pekerjaan. Jangan berteman dekat sama orang di kantor. Jangan cerita masalah pribadi sama rekan kerja. Be profesional, katanya. Kerja ya kerja aja. Gak perlu melibatkan kehidupan pribadi.

Tapi gimana caranya ? lima hari dalam seminggu, bahkan bisa lebih. Sehari juga bisa lebih dari delapan jam bareng. Gimana caranya gak berteman dekat ? Gimana caranya gak berbagi ? Secara mereka yang kita temuin setiap hari.

Berbagai hal di kehidupan gue dan beberapa teman yang seangkatan (gue akan sebut sebagai "kami" saja untuk lebih lanjut) selalu dikomentarin. Apapun. Ketika pacaran, nikah, apalagi punya bayi, sampai hal gak penting macam semprot parfum aja dikomentarin, dihakimi, diketawain, dijadiin lelucon.

Awalnya gue mikir  apa ini karena gue yang cengeng, sensi atau letoy aja cem permen yupi. Tapi ternyata enggak. Bukan cuma gue yang ngerasain, tetapi ada beberapa orang juga yang suka jadi objek becandaan. Iya, yang masih muda-muda.

Gue berpikir bahwa ini karena gue memang suka cerita-cerita aja. Lalu gue mulai ngurangin cerita. Akan tetapi temen gue yang gak suka cerita juga kena. Ternyata bukan membagi kehidupan pribadi masalahnya. Tetapi di respon merekanya.

Gue dan beberapa orang kantor ada kok yang suka berbagi masalah yang bahkan sangat-sangat pribadi. Tetapi responnya tidak seperti mereka-mereka itu. Mereka mengerti, supportive, dan tidak mengejek. Bukannya harus selalu didukung dalam keadaan apapun. Ya yang macam gitu juga bukan teman yang baik namanya. Tapi kan bisa gak judgemental dan membandingkan. Selalu merasa hidupnya paling beres.

Maaf bukannya sexist, tapi mereka yang gue maksud mayoritas perempuan. Sedangkan mereka yang supportive dan gak judgy itu adalah laki-laki. Gue benci sebenarnya harus bandingin secara gender gini. Tapi kenyataan ngomong gini. Ya walaupun ada juga perempuan di kantor yang seiring bertambahnya umur juga makin dewasa. Tapi jumlahnya dikit, kalau pria mah rata.

Lalu mereka klaim dirinya dewasa. Tapi kelakuannya begitu. Jadi kami yang muda-muda ini harus ngalah. Lah terus jadinya yang dewasa siapa haha.

Mereka selalu mengatasnamakan sayang...peduli...makanya dengan mudahnya berkomentar dan nasehatin soal apapun yang sedang terjadi di kehidupan kami. Itu bukan sayang namanya, itu bukan peduli namanya.

Kalau sayang aturannya mengerti, kalau sayang aturannya gak judgy. Kalau peduli ya dukung. Bukan menjatuhkan, membanding-bandingkan, atau mengejek. Apa yang kalian lakukan selama ini bukan sayang atau peduli, Tapi emang rese aja.

Pertemanan itu dua arah, kalau gue tetap bertahan berarti gue juga punya andil. Makan aja bisa milih kan, apalagi teman. Sebelum kita milih tempat makan, gadget, atau liburan aja riset dulu. Apalagi yang lebih penting gini dalam hidup.

Mungkin ini saatnya menjauh dan berganti teman.




Selasa, 12 April 2016

Mungkin Diam Juga Bahasa

Gue sama salah satu sahabat suka sekali berdiskusi. Baik lewat chat atau kalau ketemu langsung. Ada aja yang dibahas. Perilaku anak jaman sekarang, politik, bola, bahkan asmara (oke ini paling sering).
Hampir semua ujung dari diskusi kami entah kenapa adalah pertama, perlakukan orang lain seperti bagaimana kita ingin diperlakukan. Kedua, bilang apa yg kita pengen kita bilang.
Padahal sebelumnya kami ngomongin artis atau politik. Tapi ujungnya malah kesitu. Entah.
Oke prolognya terlalu panjang.
Awalnya dia bilang, peduli itu menyempatkan. Karena lawannya cinta itu bukan benci. Tapi tidak peduli.
Benci mungkin saja masih peduli. Tapi kalau tidak peduli, berarti sudah benar-benar tidak ada apapun lagi.
"Makanya gue paling malas sama orang yang kalau ngambek itu diam. Lebih baik ngomong." ujarnya.
"Tapi gak semua orang bisa ngungkapin marahnya. Bisanya cuma diam Kak." sanggah gue.
Lalu gue sadar. Pantas dulu waktu acara kampus salah satu partner sempat evaluasi gue untuk bisa lebih mengungkapkan kekecewaan. Bukan cuma "oh" ketika dapat laporan gak berhasil dapat penyumbang dana. Bukan cuma bilang "oke gpp" ketika ada pembicara yang gak bisa datang.
Tapi saat itu gue memang gak marah. Gue memang kecewa tapi gak lama sih. Semua orang mengakui release masalah gue yg terlalu cepat adalah penyebabnya. Ya kan kita gak selalu dapat apa yang kita mau. Kecewa bentar aja mah, harus cepat move on-nya.
"Makanya Je, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan!" tutupnya.
Oh iya itu jelas. Tapi kan orang-orang gak perlu tau marahnya kita. Mereka kan juga gak perlu tau kecewanya kita. Cukup kita aja yang rasakan.
Tidak semua orang bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Bagian ini kita memang harus sama-sama belajar.
Ada yang takut tidak bisa diterima atau takut menyakiti lawan bicara.
Tidak semua orang bisa mengungkapkan kekecewaannya.
Ekspresif dan banyak bicara juga tidak membuat ini mudah.
Ada yang sedikit bicara tapi mampu mengungkapkan perasaannya.
Tidak semua orang mahir menerjemahkan dirinya kepada orang lain.
Kalau kita harus bisa menunjukkan apa yang kita rasakan. Lalu sampai mana batasannya ?
Sampai tahap mana mereka harus tau kalau kita marah ?
Sampai di mana kita harus menunjukkan kecewanya kita ?
Apa mereka bisa benar-benar menerima bagaimananya kita ? Setelah kita tunjukkan semuanya.
Standar kecewa, sedih, dan marah tiap orang kan beda-beda.
Mungkin tidak semua hal harus kita bagi.
Mungkin tidak semua perasaan dapat kita tunjukkan.
Ada yang lebih suka menyimpannya sendiri.
Karena hanya diri sendiri yang paling mengerti.
Bisa jadi, diam juga sebuah bahasa, sebuah isyarat.

Minggu, 10 April 2016

Wanita semakin maju dan pria semakin mundur

"Kamu kalau kenalan sama cowok jangan bilang udah punya rumah ya!"
Ini nasehat dari seorang Ibu ke anak perempuannya yang berusia 35 tahun dan belum menikah.
Iya, si Ibu takut anaknya makin susah dapet jodoh kalau pria-pria di luar sana tau anaknya udah punya rumah dan malah jadi jiper. Dalam artian, si anak sudah mandiri bahkan sangat mampu secara finansial.
Gak sekali sih ada perintah yang macam begini. Ada juga yang "kamu jangan tinggi-tinggi kuliahnya nanti susah jodoh". Atau juga "kamu jangan mandiri atau kuat banget jadi cewek nanti cowok-cowok minder".
Atau yang lebih parah " ngapain belajar dan kerja keras-keras. Toh nanti di dapur doang".
Ya hidup emang pilihan sih. Di dapur doang juga butuh otak kali. Gak ada hubungannya belajar dengan di dapur doang. Semua orang berhak untuk menimba ilmu kan.
Juga soal bekerja. Tidak ada yang bisa menjamin hidup akan baik-baik saja. Suami gak selamanya setia, mereka juga gak selamanya hidup. Mau apa kalau gini?
Pria mungkin berkhianat tapi ilmu dan kariermu tidak. Demikian kata Om Piring.

Sebentar, kenapa jadi begini ya.
Kenapa perempuan jadi gak bisa mengembangkan segenap potensi dalam dirinya?
Kenapa perempuan terkesan harus mengalah?
Kenapa perempuan jadi harus terlihat biasa-biasa saja hanya supaya pria gak minder? Atau juga supaya dapat jodoh.
Apa gak bisa dibuat sama-sama enak? Perempuan bisa mengejar keinginannya. Perempuan bisa mengeluarkan segenap potensi dalam dirinya. Lalu pria aturannya mencoba mengimbangi. Bukannya minder.  Jangan mau kalah dan malah menyalahkan perempuan.
Lah, orang kita mau maju, mau jadi yang terbaik malah disalahkan. Bukannya didukung. Aturannya cowok-cowok mah bukan jiper. Tapi malah termotivasi untuk jadi pria yang lebih oke lagi.
Sederhana saja. Coba kalau ke mall perhatikan sekitar. Hampir gak ada cewek yang jelek jaman sekarang. At least mereka good looking deh. Mereka dandan, berpenampilan baik dan rapi. Coba lihat sebelahnya, si cowok. Ya biasa aja...ya gitu aja. Seperti gak ada kemajuan di dunia laki-laki soal penampilan. Mereka ya gitu-gitu aja. Malah kadang kucel, nyebelin. Kesannya cowok gak ada usaha untuk juga tampil yang terbaik. Mereka take it for granted aja.

Ada apa sebenarnya? Perempuan semakin semangat berlomba-lomba jadi yang terbaik. Sedangkan pria? Kebanyakan kalau ditanya ya jawabannya "ya...yang mau sama gue aja lah". Nrimo aja.
Kalau dapet cewek pinter pasti komentarnya "ah, sok pinter banget. Males gue". Halah...palingan juga itu alibi buat nutupin keminderannya atau kekalahannya dia. Kenapa gak termotivasi lalu belajar biar sama-sama pintar Mas?
Ternyata bukan gue doang yang berpikir seperti ini. Beberapa temen gue juga berpikir hal yang sama. Jaman sekarang susah cari cowok yang laki banget. Anak mami, manja gitu. Terus hobi ngeluh. Coba liat perempuan sekarang. Duh gusti!
Apa ini fenomena setelah emansipasi? Hasil dari usaha persamaan gender?
Kita perempuan sudah terlalu lama ditekan, ditindas, dibungkam? Jadi ketika ada kesempatan besar di jaman sekarang lalu kita merasa bebas dan berujar "ini saatnya."
Sedangkan pria yang sudah lama jadi raja sekarang jadi terlena? Kaget dengan perubahan tapi tidak ingin terlihat kalah? Merasa terancam dan malah berjalan mundur.