Selasa, 12 April 2016

Mungkin Diam Juga Bahasa

Gue sama salah satu sahabat suka sekali berdiskusi. Baik lewat chat atau kalau ketemu langsung. Ada aja yang dibahas. Perilaku anak jaman sekarang, politik, bola, bahkan asmara (oke ini paling sering).
Hampir semua ujung dari diskusi kami entah kenapa adalah pertama, perlakukan orang lain seperti bagaimana kita ingin diperlakukan. Kedua, bilang apa yg kita pengen kita bilang.
Padahal sebelumnya kami ngomongin artis atau politik. Tapi ujungnya malah kesitu. Entah.
Oke prolognya terlalu panjang.
Awalnya dia bilang, peduli itu menyempatkan. Karena lawannya cinta itu bukan benci. Tapi tidak peduli.
Benci mungkin saja masih peduli. Tapi kalau tidak peduli, berarti sudah benar-benar tidak ada apapun lagi.
"Makanya gue paling malas sama orang yang kalau ngambek itu diam. Lebih baik ngomong." ujarnya.
"Tapi gak semua orang bisa ngungkapin marahnya. Bisanya cuma diam Kak." sanggah gue.
Lalu gue sadar. Pantas dulu waktu acara kampus salah satu partner sempat evaluasi gue untuk bisa lebih mengungkapkan kekecewaan. Bukan cuma "oh" ketika dapat laporan gak berhasil dapat penyumbang dana. Bukan cuma bilang "oke gpp" ketika ada pembicara yang gak bisa datang.
Tapi saat itu gue memang gak marah. Gue memang kecewa tapi gak lama sih. Semua orang mengakui release masalah gue yg terlalu cepat adalah penyebabnya. Ya kan kita gak selalu dapat apa yang kita mau. Kecewa bentar aja mah, harus cepat move on-nya.
"Makanya Je, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan!" tutupnya.
Oh iya itu jelas. Tapi kan orang-orang gak perlu tau marahnya kita. Mereka kan juga gak perlu tau kecewanya kita. Cukup kita aja yang rasakan.
Tidak semua orang bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Bagian ini kita memang harus sama-sama belajar.
Ada yang takut tidak bisa diterima atau takut menyakiti lawan bicara.
Tidak semua orang bisa mengungkapkan kekecewaannya.
Ekspresif dan banyak bicara juga tidak membuat ini mudah.
Ada yang sedikit bicara tapi mampu mengungkapkan perasaannya.
Tidak semua orang mahir menerjemahkan dirinya kepada orang lain.
Kalau kita harus bisa menunjukkan apa yang kita rasakan. Lalu sampai mana batasannya ?
Sampai tahap mana mereka harus tau kalau kita marah ?
Sampai di mana kita harus menunjukkan kecewanya kita ?
Apa mereka bisa benar-benar menerima bagaimananya kita ? Setelah kita tunjukkan semuanya.
Standar kecewa, sedih, dan marah tiap orang kan beda-beda.
Mungkin tidak semua hal harus kita bagi.
Mungkin tidak semua perasaan dapat kita tunjukkan.
Ada yang lebih suka menyimpannya sendiri.
Karena hanya diri sendiri yang paling mengerti.
Bisa jadi, diam juga sebuah bahasa, sebuah isyarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar