Minggu, 06 September 2015

Akselerasi

Beberapa waktu lalu ada berita heboh tentang anak 14 tahun yang masuk FK UGM. Namanya Aldo.
Mbak dan Mas kantor lalu berisik ngebahas berita ini. Ocehan paling kenceng sih dari kubu yang gak setuju. Mereka bilang kasian lah masa mudanya. Gimana psikologisnya. Gak asik banget jadi dia. Hidup itu yang biasa-biasa aja. Gue gak mau lah anak gue begitu.
Kubu seberang cenderung sepi. Cuma seorang lagi. Katanya kalau emang anaknya mau dan bahagia, ya gak masalah.

Sebagai mantan anak akselerasi gue males nimbrung ke perdebatan ini. Gue pasang headset aja. Apa yang salah sih? Setiap orang kan beda-beda. Temen-temen gue di aksel IQ nya di atas rata-rata. Ambisius garis keras. Punya minat dan bakat yang berbeda. Gue yakin kalau kita di kelas biasa, yang ada kami dibully atau gak tersalurkan bakatnya.

Coba bayangin ada murid yang malah bisa nyelesain soal fisika padahal gurunya aja bingung. Pasti dikatain lah kalau di luar sana. Tapi di kelas kita itu hal biasa. Semua malah berlomba. Kami cuma milih jalan yang berbeda dan diakomodir. Udah gitu aja.

Kalau memang mampu dan mau ya gak masalah dong. Gak salah kan jadi berbeda? Suatu hal yang keren di luar sana kok jadi kepret di mata mereka. Lagian darimana juga mereka tau hidup anak aksel menyedihkan. Gue bahagia aja kok. Masih bisa main sama temen-temen dan beraktivitas lain di luar sekolah. Temen-temen gue juga biasa aja, mereka nge band dan pacaran juga. Kami sama aja kok sama yang lain. Cuma sekolahnya lebih cepet aja. Cuma beda setahun ini.

Ya gue emang belum jadi orang tua. Jadi gak tau gimana rasanya punya anak. But hey, gue juga seorang anak. Kalau kita mau dan mampu ngelakuin sesuatu ya berilah kebebasan dan kepercayaan.
Gue gak nyesel masuk aksel. Bahkan itu salah satu pencapaian terbesar dalam hidup gue. Bahagia banget lah gue.Gue juga gak nyesel kelar kuliah cepet. Kenapa sih harus judgy.

Dear orang tua di luar sana. Pertama, pastiin dulu anak lo cukup pinter. Baru boleh ngomong gitu. Kedua belajarlah jadi orang tua yang baik. Anak-anak bukan miniatur kalian.

Kamis, 06 Agustus 2015

Ngeluh, Jodoh, dan Bulu Ketek Saipul Jamil

Malam pulang kerja dan baru duduk di angkot langsung ditanya seorang Bapak.
"Mbak, Pak JO masih ada?".
Ternyata beliau pernah kerja di percetakan. Lalu sepanjang perjalanan di tengah macetnya palmerah dia cerita soal hidupnya.
Pernah jadi sirkulasi koran, tukang percetakan sampai back up office boy. Pokoknya selalu semangat, ujarnya.
Sekarang beliau jadi driver seorang bos bank syariah. Bolak-balik gak kenal waktu nganterin si bos.

"Sampai rumah dan anak-anak teriak nyambut saya. Cuma itu modal saya".

Modal yang membuat dia semangat mencari rejeki setiap hari. Untuk tidak mengeluh. Tidak menganggap bebannya sangat berat.
Apalah ya kita-kita ini. Tinggal masih numpang orang tua, tanggungan belum punya, dan masih banyak berkah lain nya. Tapi suka banget ngeluh soal hidup yang gak ada berat-beratnya ini. Paling banter bingung gaji kemana hilangnya karena gak sadar beli lipstick 500k melulu. Atau kenapa jomblo terus dari orok. Terus begitu berulang tiap bulan dan keluhannya juga sama. Malulah diketawain bulu ketek Saipul Jamil guys.

Bukan soal apa-apa, hanya soal empati.
Bukannya gak boleh senang-senang atas kerja keras sendiri.
Cuma supaya kita belajar bersyukur dengan cara apapun.
Karena ngeluh-ngeluh itu annoying dan ngasi effect negatif ke sekitar.

Tiba saatnya gue pamit. Beliau melontarkan pertanyaan penutup "suaminya kerja dimana?"
"Saya masih sendiri hehe. Mari Pak".
Gue beranjak keluar angkot
"SEMOGA MBAK DAPET PASANGAN YANG PAS YAAAA BAIK HATI, PINTER, NYAMAN YA MBAK" teriaknya dari jendelaa
"AMIN PAKKKK" gue bales teriak. Bodo amat sejalanan denger.

Yah ujung-ujungnya jodoh lagi. Ini mah kau bawa ku terbang ke atas lalu jatuhkan ke dasar jurang Pak. 

Selasa, 17 Maret 2015

Mengubah

Di tengah-tengah waktu kerja, telepon genggam terus bergetar. Ternyata lagi ngeributin kelakuan salah satu temen gue. Ada perilakunya yang dirasa tidak pantas atau tidak sesuai dengan teman-teman lain. Tapi gak merugikan kita, cuma beda cara pandang aja.

Beberapa waktu lalu, gue juga ketemu teman lama. Ternyata dia gak berubah perilakunya, ini salah satu perilaku yang gak gue suka. Karena beda nilai atau cara pandang aja dengan gue. Kedua peristiwa ini membuat gue jadi menyadari sesuatu.

Dulu, dulu sekali rasanya kalau teman gue melakukan sesuatu yang gak pantas dengan gue pasti deh kesel bawaannya. Gue nasehati lah, gue suruh berubahlah. Gue seakan memaksa dia untuk menjalani hidup di jalan gue. Tanpa gue sadar kalau setiap orang berbeda. Mereka dibesarkan dengan orang tua yang berbeda, lingkungan yang berbeda, bacaan dan tontonan yang berbeda juga. Maka jelas nilai yang ada di diri mereka juga berbeda dengan gue. Lah, orang tinggal serumah ditambah ada hubungan darah aja pasti ada gak cocoknya kok.

Tapi gue selalu mengatasnamakan "kan gue sobinya". Gue gak pengen dia sakit hati lah, terluka lah, kenapa-napa lah. Pokoknya ingin melindungi lah. Tapi semakin tua, rasanya orang makin batu. Kok susah banget sih nurutin nasihat. Sampai akhirnya gue ada di titik, bodo amatlah, hidup-hidup dialah. Tapi emang iya kan, kita sudah sama-sama dewasa. Sudah tau baik dan buruk, pantas enggak pantas, sudah puluhan tahun menjalani hidup jadi taulah mana yang mereka banget apa enggak. Berarti sudah saatnya berhenti mencampuri hidup orang lain.

Lah terus apa gunanya teman? sahabat? Ya kalau gue sih tetap berperan sebagai seorang teman aja. Dengarkan mereka, berbagi cerita, ngelakuin hal yang kita suka. Kalau butuh pendapat baru deh ngomong, tapi di awal tetap bilang "kalau menurut gue yaaa, kalau itu gue sih yaaa". Jadi ini pakai otak gue dengan nilai-nilai yang gue percayai. Kalau udah kepentok juga sadar sendiri kan haha. At least, udah ngasitau. Sisanya urusan mereka.

Susah sih dan pasti masih ngerasa greget gitu dengan sikapnya yang gak gue suka. Tapi rasa sayang gue ke mereka jauh lebih besar dari sekedar rasa gak suka ke salah satu perilakunya. Gue masih pengen temenan sama mereka, bagaimanapun bentuknya mereka.

Lagian gue juga gak sempurna. Mereka pasti sering kesel sama kerasnya suara gue, ngototnya gue dan sakitnya keplakan tangan gue. Saling menerima lah. Cuma hal kecil gini jangan sampai merusak persahabatan. Ibarat kata ini cuma sendok nyamnyam mah. Toh ini bukan hal fundamental dan kita gak akan membentuk bahtera rumah tangga juga :p Semasih mereka gak merugikan gue atau orang lain silahkan lakukan apapun. Dibalik semua itu, masih banyak kesamaan lainnya yang bisa ngebuat kita bahagia bareng.

Salah satu episode di Friends bisa menggambarkan semua ini. Waktu Phoebe menganggap roh ibunya ada di badan seekor kucing. Cuma Ross yang berani membentak Pheb buat sadar. Ternyata Pheb tau kok yang dia lakukan gila dan dia bilang ke Ross "Be a friend, be supportive".




Senin, 02 Maret 2015

mengaku dewasa

Seminggu kemarin dibuat heran dengan kelakuan salah satu rekan kerja. FYI dia perempuan dan umurnya sepantaran nyokap gue. Dia terlihat sobi banget dengan seseorang. Setiap pagi curhat soal keadaan rumahnya dan kerjaan. Gak jarang juga ngomongin rekan kerja lain. Okey, kalau ini gue masih menganggap wajar.

Sampai ketika lagi rapat sama orang ini dan ternyata dia ngomongin sobinya di tengah-tengah rapat. Iya....SOBI nya! orang yang selalu jadi tempat curhatnya dikala pagi itu. Sobinya aja digituin, gimana orang lain yang bukan siapa-siapanya. Udah diomongin apa coba...

Gue gemeter sampai megang notebook. Selama ini di pikiran gue kalau kita sudah dewasa otomatis perilaku kita juga dewasa dong. No more back stab. Gak suka, bilang gak suka, kesel bilang kesel. Sudah gede lo, gak usah dijaga perasaannya. Face the truth bray, dunia nyata.

Heran aja dengan orang-orang yang mengaku dewasa tapi kelakuannya masih kekanakan. Ngecengin kelakuan anak muda tapi dirinya sendiri gak lebih bagus kelakuannya. Ada beberapa kemungkinan kenapa si Mbak kelakuannya begitu. Ini berdasarkan sharing gue dan teman-teman:

1. Emang dia rumpi aja. No, dia bitch aja udah.
2. Sobinya tau apa yang dilakukan si Mbak kok. Nanti dia juga bisa melakukan hal yang sama. Equal.
3. Kata temen gue yang master psikologi, orang dewasa itu kompleks. Bisa aja sebenarnya si Mbak ingin melakukan yang sobinya lakukan. Cuma dia gak mampu.
4. Kata temen gue yang master psikologi, orang dewasa itu kompleks (2). Bisa aja masalahnya banyak di rumah. Dia kecewa sama keadannya jadi melampiaskannya ke orang lain. Kalau udah berkeluarga kan masalah jadi banyak.
5. Dia perlu having sex, period.

Bahkan berdasarkan survei kecil-kecilan gue di tiap departemen pasti ada yang musuhan sampai gak ngomong. Bertahun-tahun. Satu ruangan, ketemu setiap hari. Gimana caranya....udah tua kenapa masih begitu. Orang yang model begini pasti ada di setiap kantor. Jangan keburu sedih or shock aja macam gue :p

Atau mungkin dewasa itu memang begitu? dan gue yang ternyata masih anak-anak. Kalau gitu lebih baik gue jadi anak-anak saja.

Judge

KBBI --> menghakimi: mengadili atau berlaku sebagai hakim

ada teman yang takut sekali dihakimi, takut dijudge. Sebelum cerita selalu diawali dengan "tapi jangan judge gue ya" alasan ini juga sering digunakan sebagai alasan untuk tidak bercerita "soalnya gue males dijudge sama kalian"

proses menghakimi terjadi karena kami tidak tahu, karena dia tidak jujur. Jika segalnya jelas dan terbuka. Kami jadi mengerti dan tidak menghakimi.

maka belajarlah jujur kalau memang kami temanmu
dan jika kamu menghargai dirimu sendiri



*sekelebat sebelum pulang ke rumah.