Senin, 01 Mei 2017

Logika Balas Jasa

Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau. Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu. (Anakmu bukanlah milikmu-Kahlil Gibran)

Memasuki fase hidup bekerja, bahan obrolan di lingkaran pertemanan tentu mengalami perbedaan. Salah satunya adalah soal membalas jasa ke orang tua.

Sebagai orang yang agak duluan kerja, di awal bekerja sejumlah teman bertanya ke gue. Apakah gaji pertama dikasi ke orang tua ? Apakah ngasi uang bulanan ke orang tua ? Menyisihkan sedikit untuk dikirim ke kampung ?
Jawabannya adalah tidak. Yes, cap gue anak durhaka. But wait, I have an explanation.

Pertama, orang tua gue masih bekerja. Masih sangat sangat sehat dan sangat sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Mereka juga masih bisa biayain adik gue yang masih sekolah.
Personally, gue gak suka kek ngasi literally lembaran uang gitu ya ke orang tua. Kesannya gimana gitu. Jadi yang gue kasi adalah barang.
Setiap mereka ulang tahun, setiap gue pulang ke rumah, setiap gue dari luar kota atau luar negeri.
Atau nraktir makan kalau gue lagi di rumah.

Kedua, jujur gue tidak suka dengan konsep kepemilikan anak di kultur kita ini. Orang memiliki anak dengan alasan-alasan egois. Supaya ada yang nemenin waktu tua, untuk ditaruh mimpi-mimpi mereka, dan semacamnya.
Kita, anak, tidak pernah meminta dilahirkan.
Tapi hidup kita diatur dan harus ngikutin mereka.
Agama harus ngikut. Berani pindah agama, kelar hidup lo!
Segala dipilihin mulai dari sekolah, kerja, pasangan, sampai jalan hidup.
Setelah semua itu, kita masih harus banget balas budi ke mereka ?
Ngurus mereka ketika tua. Menanggung hidup mereka. Bayarin sekolah adik-adik.
Dude, please!
No! We don't owe them.
Kita tidak berhutang apapun ke orang tua. Apa yang mereka lakukan ke kita, sejak kita kecil sampai mandiri seperti sekarang ini adalah tanggung jawab mereka. Karena mereka yang membawa kita kesini. Ke dunia ini.
Kalau memang kita mau bantuin mereka, financially. Itu bukan kewajiban kita. Kalaupun kita melakukannya, ya itu karena kemurahan hati kita. Just because we love them.

Gue selalu tidak habis pikir akan cerita temen-temen gue. Ada yang neneknya nyuruh dia nyekolahin sepupu-sepupunya. Seriously ???
Ada juga yang orang tuanya nelfon, minta macem-macem begitu anaknya kerja.
Ada juga yang minta-minta duit. Nyuruh ngidupin adek-adeknya. Padahal orang tuanya masih muda dan sangat sehat.
Temen-temen gue ini sering mengeluh. Duit di Jakarta juga gak banyak-banyak amat. Di satu sisi harus memenuhi kebutuhan sendiri. Di sisi lain, gak enak sama orang tua.

Satu hal yang sangat gue kritisi dari sebagian orang Indonesia ini adalah terlalu menggampangkan punya anak.
Jangan tatar gue dengan konsep agama. I don't have one. Gak akan masuk di logika gue.
Di negara maju sana punya anak itu mahal sob.
Lo harus bayarin dia asuransi kesehatan dan pendidikan. Harus ada yang jaga, gak boleh biarin dia masih kecil tapi sendokiran di rumah.
Intinya, lo harus benar-benar siap ketika memutuskan punya anak. Mental dan finansial.
Setelah anak mandiri, lepas sudah tanggung jawab. Lalu orang tua juga siap dengan kehidupan sendiri.
Jadi bukan malah berharap bantuan anak ketika pensiun atau saat tidak berdaya lagi.
Gue pernah mengungkapkan hal ini ke orang tua gue. Mereka juga sependapat. Apa lagi sebagai orang Bali yg sampai seribu tahun setelah kematian aja anak-anaknya masih harus buat ritual ye.
Nyokap malah bilang, tua nanti bakal tetep punya duit kok. Secara doi kandidat Guru Besar yang bisa ngajar sampai umut 70 tahun. Jadi anak-anaknya gak perlu watir.
Kalau bokap malah bilang gak perlu buatin upacara ngaben. Nanti anak-anaknya repot. Tinggal kremasi di Cilincing. Masukin kompor, beres.

Tapi ya, seperti biasa kalimat andalan gue adalah....what do I know, I am not even a parents. Nikah aja belum, apalagi punya anak.

1 komentar:

  1. Ada juga kak, seorang ibu yang selalu mengingatkan anaknya "kalo dah kerja nanti jangan lupa ibu dikasih" ato "jangan lupa ibu dikirimi" dan itu sudah dilakukan sejak anak itu masih sd. Sebenernya ga masalah sih mau minta uang ke anaknya ato minta bantuan ke anaknya tapi yang jadi masalah adalah si anak nggak pernah diingatkan untuk "jangan lupa sesekali pulang". Si anak pun semakin lama jadi sedih karena berpikir bahwa kehadiran si anak tu nggak penting yang penting uangnya nyampe.

    Eh malah jadi cerpen, intinya sih saya sangat setuju dengan pendapat anda.

    BalasHapus